Ngomongin Gaya Hidup dan Fashion: Sudut Pandang Gen Z Vs Milenial

Kenapa Ngomongin Gaya Hidup dan Fashion itu Kayak Ngobrol Sama Teman

Jujur, saya selalu nganggep obrolan soal fashion dan gaya hidup itu nggak berat. Kayak cerita ringan di kafe, sambil ngopi panas dan nunggu hujan reda. Ada momen-momen kecil yang bikin beda: cara milenial dan Gen Z ngeliat baju bekas, misalnya. Banyak milenial yang masih cari feel ‘bagus tapi tahan lama’, sementara Gen Z lebih berani coba warna neon atau aksesori aneh-aneh yang viral di TikTok.

Kedua generasi ini sama-sama peduli penampilan, tapi motivasinya beda. Milenial seringnya nyari value — investasi satu blazer yang bisa dipakai bertahun-tahun. Gen Z? Eksperimen. Cat kuku warna hijau, tas mini yang cuma muat lipstik, tapi foto OOTD kelihatan stunning. Saya sendiri di antara dua dunia itu; kadang mau praktis, kadang pengen nge-gas ikut tren saat mood lagi naik.

Perbedaan Gaya: Sederhana Tapi Nggak Boring

Kalau ditarik garis besar, milenial cenderung ke minimalisme. Mungkin karena kita tumbuh di era krisis ekonomi dan belajar menghargai barang berkualitas. Saya masih inget coleman jacket pertama yang saya beli waktu kerja pertama—masih awet sampai sekarang. Sedangkan Gen Z lebih antusias dengan estetika: Y2K, e-girl, cottagecore, semua campur jadi satu feed Instagram yang kaleidoskopik.

Nggak melulu tentang baju. Gaya hidup juga termasuk gimana cara kita konsumsi media, makanan, dan waktu libur. Milenial suka hunting kafe dengan Wi-Fi bagus buat kerja remote, Gen Z lebih sering streaming live atau ikut event pop-up. Saya sendiri suka keduanya: pagi di coworking space, sore nonton pop-up art bareng teman-teman sambil cuap-cuap ringan.

Sustainability dan Kepraktisan: Biar Nggak Cuma Gaya

Topik sustainability sering bikin diskusi panas. Milenial kadang lebih vokal soal slow fashion: beli kualitas, perbaiki, pakai ulang. Gen Z juga peduli, tapi caranya berbeda. Mereka lebih suka mendaur ulang ide—upcycle jacket lama jadi crop top, misalnya—dan memviralkan secondhand haul di TikTok. Lucu sih, karena akhirnya kedua generasi bertemu di satu titik: ingin mengurangi sampah tekstil, tapi caranya ekspresif berbeda.

Saya pernah nyobain marketplace preloved, dan menemukan trench coat vintage dengan motif dalam yang unik. Harganya masuk akal, dan cerita pemilik sebelumnya turut membuatnya terasa “hidup”. Hal-hal kecil begitu yang bikin gaya hidup terasa personal, bukan sekadar mengikuti label.

Sesi Review Singkat: Produk Kekinian yang Pernah Saya Coba

Oke, ngomongin produk. Saya lagi demen banget sama three-piece skincare routine yang fokus ke hidrasi: cleanser lembut, serum hyaluronic, dan moisturizer yang ringan. Bukan merk mahal, tapi formulanya efektif buat kulit saya yang kombinasi. Hasilnya? Kulit lebih plumpy, dan makeup nge-set lebih rapih.

Sekarang soal fashion item, saya mau review singkat tentang “dad sneakers” — sepatu tebal yang sempat viral itu. Saya beli sepasang lokal brand yang desainnya mirip versi mahal, tapi kualitas sol dan jahitan lumayan. Nyaman buat jalan seharian, tapi agak berat kalau dipakai lari. Keuntungannya: bikin outfit kasual langsung terlihat lebih bold. Kekurangannya: perlu perawatan karena bagian putih gampang kotor.

Selain itu, ada satu accessory kecil yang underrated: ring light mini. Buat yang sering bikin konten atau ambil foto OOTD di kamar, ini penyelamat. Cahaya langsung membuat detail pakaian keluar tanpa butuh filter berlebihan. Saya nggak malu bilang ini benda kecil tapi berdampak besar ke feed Instagram — kalau kamu suka explore aesthetic visual, cek juga akun-akun inspiratif seperti xgeneroyales yang sering share moodboard dan style tips.

Intinya: milenial dan Gen Z punya cara masing-masing menikmati hidup dan fashion. Tidak ada yang salah. Yang penting tahu apa yang bikin kita nyaman, dan kadang berani coba hal baru. Fashion itu bermain; gaya hidup itu pilihan. Kalau kamu masih bingung mau mulai dari mana, coba satu hal kecil: pakai item yang bikin kamu tersenyum tiap lihat di cermin. Gampang, tapi ampuh.

Leave a Reply